Untuk mengetahui hal itu, Anda harus mengetahui beberapa hal
berikut:
1)
Seluruh ulama sepakat terhadap masalah-masalah
keimanan dan prinsip-prinsip syariat dan rukun-rukun Islam dan bangunan Islam
yang kokoh. Perbedaan pendapat hanya terjadi pada beberapa rincian dan aplikasi
hukum-hukum Islam.
Adapun kaidah-kaidah umum dan prinsip-prinsip hukum, maka para ulama
menyepakatinya. Ini merupakan karunia dari Allah terhadap syariat dan risalah,
dimana Allah telah menjagannya untuk manusia.
2)
Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah yang
bersifat cabang dan rinci merupakan sesuatu yang biasa. Tidak ada syariat agama
samawi ataupun agama buatan manusia yang tidak terdapat perbedaan pendapat. Bahkan,
tidak ada suatu ilmu mana pun yang tidak ditemukan perbedaan pendapat di
dalamnya. Para ahli hukum berbeda pendapat dalam menjelaskan dan
menafsirkannya. Pengadilan pun berbeda-beda dalam menerapkannya. Para sejarawan
berbeda pendapat dalam meriwayatkan sejarah dan peristiwa. Para dokter,
insinyur, ahli, dan seniman berbeda pendapat dalam suatu masalah, juga dalam
memandang dan menganalisanya.
Maka perbedaan pendapat dalam masalah-masalah yang cabang dan rinci,
merupakan sesuatu yang alami terjadi dalam kehidupan ilmiah dan kehidupan
sehari-hari.
3)
Allah SWT telah memaafkan orang yang mencari
kebenaran dengan jalan yang benar, lalu ia keliru dalam kesimpulan. Rasulullah
SAW telah memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang mencari kebenaran
dengan jalan yang benar, bahwa dia selalu mendapat pahala, dalam kedua situasi.
Jika dia benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan jika ia salah, namun
dengan semangat dan yang ia tempuh berupa jalan yang benar, maka baginya satu
pahala. Nabi SAW bersabda “Jika seorang
hakim berhukum lalu ia bersungguh-sungguh dan benar, maka baginya dua pahala. Dan
jika ia berhukum, lalu salah maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari,
7352).
Ketika
Allah menyampaikan kisah Nabi-nabi Allah, Dawud dan Sulaiman AS, dihadapkan
pada keduanya persoalan hukum, lalu keduanya berijtihad. Sulaiman AS berhukum
yang benar, namun Dawud AS keliru dalam penetapan hukum. Al-Qur’an mengisahkan
kisah keduanya, dan menetapkan benarnya pendapat Nabi Sulaiman dan kekeliruan
pendapat Dawud AS. Meskipun begitu Allah memuji keduanya, sebagaimana
firman-Nya: “Maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada
masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu.” (Al-Anbiyya’:
79).
4)
Seluruh ulama yang mumpuni dan para imam mazhab
yang empat, berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah, dan tidak mendahulukan
pendapat mereka di atas keduanya. Tapi perbedaan pendapat di kalangan mereka
tidak dibangun berdasarkan hawa nafsu, membela ambisi atau kepentingan. Tapi dibangun
di atas prinsip-prinsip ilmiah dan objektif untuk sampai pada kebenaran. Kadang
sebuah hadits sampai pada seorang ulama, dan tidak sampai pada ulama lain atau
berbeda pandangan ilmiah dalam memahami dalil dari Al-Qur’an dan sunnah, atau
sebab-sebab lain.
5)
Ada empat ulama dan ahli fiqh Islam yang paling
agung dan terkenal, yang disepakati oleh umat terkait kepemimpinan mereka dalam
ilmu dan agama. Mereka mencapai derajat yang tinggi dalam ilmu fiqh, ilmu dan
agama. Murid-murid mereka banyak dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka dan
mengajarkan kepada umat di seluruh dunia. Maka terbentuklah empat mazhab yang
tersebar di negeri-negeri muslim. Mereka adalah:
·
Imam Abu
Hanifah. Nama lengkapnya An Nu’man bin Tsabit. Ia hidup di Irak dan Wafat
pada tahun 150 Hijriah. Padanya dinisbatkan mazhab Hanafi.
·
Imam Malik
bin Anas Al Al-Ashbahy, Imam Al-Madinah Al-Munawwarah. Ia wafat pada tahun
179 Hijriah. Padanya dinisbatkan mazhab Maliki.
·
Iman
Syafi’i. Namanya Muhammad bin Idris. Ia hidup di antara Makkah, Madinah,
Irak, dan Mesir. Ia wafat pada tahun 204 Hijriah, padanya dinisbatkan mazhab
Syafi’i.
·
Imam Ahmad
bin Hanbal. Ia menghabiskan kebanyakan hidupnya di Irak. Ia wafat pada
tahun 241 Hijriah. Padanya dinisbatkan mazhab Hanbali.
Di antara keempat ulama tersebut dan murid-muridnya, mereka
saling bertukar pujian, dan saling belajar. Semuanya bersemangat untuk
mengikuti kebenaran. Mereka tidak merasa dengki untuk bersepakat dengan orang
lain dalam suatu persoalan, lalu cocok dengan pihak lain dalam masalah lain.
Imam Ahmad belajar dari Imam Syafi’i, Imam Syafi’i belajar dari Imam Malik. Sementara
Imam Malik dan murid-murid Imam Abu Hanifah saling bertemu dan belajar.
Keempat imam ini, sama-sama bersepakat: “Jika sebuah hadits
itu shahih, maka itu adalah mazhabku.” Tujuan mereka yang pertama adalah
menyebarkan ilmu, menghapuskan kebodohan dari manusia. Semoga Allah mengasihi
mereka dengan kasih sayang yang banyak.
Komentar
Posting Komentar